Perlukah sembako dikenakan pajak? Benarkah aktivitas manusia menyebabkan pemanasan global? Apakah relaksasi PPNBM adalah kebijakan yang tepat? Benarkah pegawai pemerintah telah bersih dari praktik korupsi? Apakah hukum agama mampu menyelesaikan persoalan spesifik umat manusia? Mengapa otak dianggap membahayakan iman? Apakah Tuhan takut dengan rasio yang Dia ciptakan sendiri? Semua itu hanyalah pertanyaan random, dan saya yakin anda sudah punya jawaban sendiri untuk semua pertanyaan tersebut.
Otak manusia adalah gunung api opini. Otak dapat memuntahkan persepsi dan gagasan tanpa henti. Tidak peduli apakah pertanyaannya relevan atau tidak, dapat dijawab atau tidak, rumit atau sederhana. Otak selalu siap untuk memberikan jawaban. Hasilnya apa? Ya, ledakan opini.
Konsep Elasticity of Reality
Efeknya, kita harus menghadapi satu persoalan tersendiri yang kita kenal dengan konsep elasticity of reality – keadaan dimana realitas bisa dipelintir ke mana saja, oleh siapa saja. Setiap individu dengan aktif membantah fakta tanpa alasan yang jelas, atas nama demokrasi – atas nama kebebasan berpendapat. Kita tidak lagi berpikir semua orang sama pintarnya dengan yang lain, melainkan kita berpikir kitalah yang paling pintar.
Era teknologi dan komunikasi modern bukan hanya menciptakan kemajuan yang luar biasa, tetapi juga memberi jalan dan bahkan memperkuat kekurangan umat manusia dalam bidang pengetahuan. Sekarang, kalau di stadion ada 50 ribu penonton sepak bola, maka sebanyak 50 ribu itu adalah pakar sepak bola. Semua bisa bikin opini dan menyebarluaskannya.
Internet dan persoalannya
Tanyakan semua orang tentang fenomena ini, maka semua akan sepakat menyebut internet atau media sosial sebagai biang keroknya. Orang-orang yang dulunya meminta nasehat dari para spesialis, kini hanya butuh smartphone dan jaringan internet untuk menemukan jawaban dalam hitungan detik. Untuk apa mencari informasi ke orang yang lebih berpendidikan kalau anda bisa mendapatkan informasi sendiri? Dan di sinilah masalahnya.
Internet dan media sosial tidak lagi dapat dilihat sebagai ruang hampa, melainkan sebuah landscape baru yang diperebutkan oleh banyak pihak, dari beragam kepentingan, termasuk pemerintah. Hal ini kemudian mengerucut pada persoalan masyarakat melawan pemerintah. Dikotomi antara pemerintah dan masyarakat kemudian hanya melahirkan gerakan yang saling berlawanan – sentripetal dan sentrifugal – yang pada akhirnya hanya akan menumbuhkan trust issues dari masyarakat terhadap pemerintahan itu sendiri.
Public Relations sebagai perantara
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah entitas yang mampu menjembatani setiap isu, sebuah entitas yang hadir sebagai penghubung, perantara, interpreter, mediator antara pemerintah dan masyarakat. Dan peran itu sepantasnya berada di pundak seorang Government Public Relations atau yang lebih familiar dengan sebutan Hubungan Masyarakat (Humas). Peranan humas, khususnya bagi pemerintahan, harus bisa jauh lebih mulia dari sekedar menjalankan gerakan sentrifugal – membungkus realitas yang ada dengan berbagai macam cara atau membangun citra positif semata.
Prinsip utama kegiatan kehumasan adalah melakukan yang baik dan selanjutnya membicarakannya. Pertanyaannya, kepada siapa semua hal itu dibicarakan? Masyarakat umum adalah satu set faktor yang muncul dari luar dan tidak dapat dikendalikan begitu saja dengan mudah. Kebutuhan kita untuk mengendalikan persepsi mereka (read: memahami persepsi kita) membutuhkan keahlian khusus, strategi yang tepat, dan perencanaan yang matang. Rangkaian proses ini harus dipahami secara komprehensif agar humas tidak melakukan kegiatannya secara membabi buta, bagai seorang pengemudi yang berkeliling kota tanpa peta.
Tantangan dalam memenangkan opini publik
Tetapi pertanyaan yang sering muncul kemudian adalah: apa yang harus direncanakan? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan dasar yang selalu muncul dalam pikiran praktisi kehumasan, terutama ketika ia harus bekerja dari awal dan harus menentukan sendiri apa kontribusinya bagi institusi. Pertanyaan itu sama pentingnya dengan pertanyaan: apa yang harus saya kerjakan? Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang tidak bisa dijawab langsung tanpa melakukan trial and error.
Misalnya, membuat program komunikasi berdasarkan perkiraan umum menurut kebiasaan yang berlaku dengan menyusun program teknis seperti membuat konten grafis, video profile, membuat film pendek, majalah internal, hiburan karyawan, press relations, dan sebagainya. Cara bekerja seperti ini memang tidak menyalahi kebutuhan institusi, tetapi kecenderungan hanya mengikuti kebiasaan yang berlaku sering kali tidak menyentuh persoalan sesungguhnya.
Lebih jauh, praktisi kehumasan harus mampu memposisikan diri dan institusi dengan baik. Berusaha mendudukkan segala persoalan dengan jernih untuk menggiring persepsi menuju satu titik yang dicita-citakan bersama – oleh pemerintah dan masyarakat. Menemukan common goals tentu tidak semudah yang dibayangkan. Namun, jika tidak ada jalan, setidaknya sudah punya arah.
Melawan bias kognitif
Salah satu alasan mengapa sangat sulit untuk memenangkan opini secara online adalah karena adanya “backfire effect“ , sebuah bias kognitif tertentu yang membuat kita semua, bahkan di hadapan bukti yang terdokumentasi dengan jelas, memperkuat keyakinan kita dan menolak untuk mengubah pandangan kita, jika diberikan bukti persuasif sebaliknya. Hal ini harus dipahami dengan baik oleh setiap praktisi kehumasan agar tidak terlibat dalam lahirnya ledakan informasi yang tidak berdampak apa-apa, bahkan hanya memperlebar trust issues dari masyarakat.
Bagaimanapun, komunikasi pemerintahan – dalam konteks ini adalah peran praktisi kehumasan – berperan sangat penting dalam persoalan ini. Dalam konteks Pandemi Covid-19, misalnya. Pemberlakuan PPKM yang tidak berdampak signifikan terhadap angka penurunan kasus, peraturan yang terkesan tumpang tindih, intervensi yang dianggap tanggung, hingga transparansi data terkait jumlah pasien positif, lokasi terinfeksi, sampai anggaran bantuan sosial. Hal tersebut menyebabkan kesimpangsiuran di masyarakat yang justru menjadi masalah baru dalam penanganan Covid-19. Ketidaktahuan dari masyarakat bukan hanya melahirkan ketakutan, tetapi juga kemarahan.
Kalau kata Yuval Noah Harari, “The best defence humans have against pathogen is not isolation – it is information.” Tentunya, pemberian informasi tersebut harus dibarengi dengan sensitivitas. Menyampaikan pesan dengan hati dan empati serta membawa kesejukan dan dinamika informasi positif di masyarakat. Peran humas yang memiliki kesadaran seperti ini, yang semula hanya ikut andil dalam ledakan informasi dan dikotomi gerakan sentripetal-sentrifugal, bukan tidak mungkin, membuat institusi tidak hanya mampu menyelesaikan persoalannya, tetapi juga bisa membantu Indonesia yang hari ini sedang terseok-seok.