Peran yang Tak Dipilih

badut memainkan peran yang tak dipilih

Institusi ini ditujukan buat siapa saja yang bermental pengabdi, yang awalnya, bukan tipikal seperti saya yang pantas menjadi bagiannya. Perjalanan berliku paska lulus SMA membuat saya mendapat lebih banyak ruang dan waktu untuk menggali dan memahami diriku. Saya merencanakan hidupku dengan mental ‘maker’. Menjadi seorang ‘strategic planner’, seseorang yang berpikir, menggagas, dan merencanakan bagaimana sesuatu sebaiknya dijalankan dengan berbagai pertimbangan strategis. Atau paling tidak, saya ingin punya kendali penuh atas hidupku. Bukan untuk mengabdi atau menjadi abdi.

Dua belas tahun dikontrol oleh sekolah membuat saya lelah melakukan rutinitas yang sama. Saya tidak mau menghabiskan masa mudaku dengan berpartisipasi dalam kemacetan pagi, ketakutan datang terlambat, dan berakhir dengan pensiun tidak seberapa. Terlebih, saya membayangkan di kantor akan bertemu dengan atasan yang memaksa saya untuk mengatakan ‘siap’, bahkan untuk keputusan-keputusan yang tidak saya setujui. Sebuah kantor yang hanya berisi pegawai-pegawai yang sepanjang hari terlihat lelah dengan tekanan dan tidak bahagia. Saya tidak mau tidak punya kontrol, apalagi sampai harus setuju ditempatkan di mana saja. Ini hidup saya, sayalah yang berhak menentukan setiap keputusan dan prioritas dalam hidup.

Citra buruk ASN

Kita semua tentu pernah berurusan dengan instansi pemerintah lalu mendapat pelayanan yang buruk. Siapa yang mau sehari-hari berhadapan dengan orang-orang yang melayani orang lain dengan buruk? Berurusan dengan mereka saja saya tidak mau, apalagi harus menjadi bagian dari mereka.

Terlebih, terlahir dari orang tua yang keduanya juga ASN membuat saya paham betul bahwa birokrasi yang cenderung statis kemudian akan membentuk ASN menjadi tidak punya visi. Motivasi mereka hanyalah naik pangkat, tunjangan naik, namun kerja lebih santai. Kalau ada junior yang pintar dan nurut, bersiaplah jadi sasaran empuk pendelegasian tugas. Sebuah budaya yang membentuk ‘semakin senior anda, semakin anda overpaid’. Kantor menjadi tempat transaksi yang menarik antara pegawai ‘overqualified’ dengan pegawai ‘overpaid’. Efeknya, menjadi sebuah hal yang lazim bagi para ASN baru untuk mencari keseimbangan, membatasi diri untuk tidak terlalu bisa, tapi juga jangan sampai dibilang tidak bisa. “siklus macam apa ini”, pikirku pada saat itu.

Ohiya, anda jangan membayangkan pegawai overqualified ini adalah orang-orang yang mudah memahami sesuatu, bekerja secara efisien, bersikap asertif seperti banyak bertanya, aktif berpendapat, rajin menyanggah dan mendebat. Tentu tidak. Bagi para pejabat dan senior, lebih penting datang tepat waktu, absen, menjadi seorang ‘yes-man’ atas setiap perintah, aktif di grup whatsapp kantor sambil menunggu waktu pulang, daripada merecoki proses birokrasi yang dianggap sudah mapan dan aman, meskipun lamban. Hal semacam ini sangat dibenci oleh para birokrat yang pro status quo, apalagi kalau sudah tidak sejalan dengan kepentingan pihak tertentu.

Pandangan negatif saya terhadap ASN juga diperparah oleh cerita kawan saya yang kebetulan adalah seorang ASN pada saat itu. Dia menjelaskan dengan sangat detail terkait relasi di kalangan ASN. Katanya, relasi yang dibangun oleh para ASN itu sangat aneh. Semua masalah pribadi bisa disulap menjadi konsumsi kantor. Setiap perkumpulan hanyalah soal ‘hari ini siapa yang harus dibahas’. Hal-hal yang cenderung menyudutkan pihak lain tetapi disajikan dengan ungkapan-ungkapan jenaka. Mayoritas ASN menikmati kamuflase kesenangan pribadi yang semu dan sia-sia itu, dibanding harus membahas improvisasi program dan pekerjaan rutin.

Tipping point

Paradigma negatif semacam itulah yang kemudian membentuk saya menjadi orang yang sangat membenci ASN dan birokrasi pada saat itu. Sampai pada satu titik, saya memahami bahwa hidup hanyalah permainan nilai. Kita tidak bisa bersumpah untuk suka A, meyakini B, memiliki prinsip C, ingin menjadi D. Toh hidup akan membentuk kita yang baru setiap harinya. Kehidupan selalu punya cara untuk tidak membuat kita berhenti di satu titik. Kita cuma punya dua pilihan; mengikuti arus atau melawannya. Dan tampaknya, arus kehidupan telah membawaku menjadi diriku di hari ini. Ya, hanya dengan sebuah trigger kecil, saya memilih menjadi ASN. Saya menjadi bagian dari birokrasi.

Lalu, apakah semuanya selesai begitu saja? Tentu tidak. Saya masih beruntung karena menjadi ASN di Kementerian Keuangan. Salah satu, dan bahkan satu-satunya, Kementerian yang sudah menggunakan konsep Balanced Scorecard (BSC) dalam mengelola kinerja organisasinya. Basis kinerja menjadi jelas, capaian kinerja menjadi jelas, pemberian reward and punishment menjadi jelas. Outputnya terukur, outcomenya jelas. Hanya dengan memahami tools ini saja, beberapa pandangan negatifku sudah terbantahkan.

Ketakutan atas kontrol yang semena-mena, yang dulunya selalu saya asosiasikan sebagai bentuk loyaitas, pada akhirnya juga terbantahkan. Saya sampai pada titik pemahaman bahwa loyalitas sejatinya tidak cukup dilekatkan pada relasi patron-klien saja. Kita tidak bisa mengatakan orang itu tidak loyal hanya karena ia berseberangan dengan atasannya. Lebih dari itu, loyalitas harusnya didasarkan pada prinsip ‘Pacta Sunt Servanda’, bahwa kesepakatan harus dijalankan. Seorang pegawai dikatakan tidak loyal ketika ia melanggar kesepakatan. Seorang ASN dikatakan tidak loyal ketika ia melanggar sumpahnya, saya dikatakan tidak loyal ketika saya tidak menyelesaikan Kontrak Kinerja saya, misalnya. Pemahaman sederhana ini, paling tidak, sudah memberi saya sedikit kepercayaan diri untuk mengatakan ‘tidak’ atas hal-hal yang saya anggap salah.

Mengambil peran (yang tak dipilih)

Lalu, apakah semuanya ternyata tidak sesuai dengan pandangan awal saya? Tidak juga. Selama ada harapan, akan ada kesenjangan dengan realitas. Akan selalu ada masalah. Tapi ini yang kemudian saya pahami:

“Our problem is questioning the condition, without taking action.”

Apapun masalah yang terjadi di hidupku, sesuatu yang mungkin tidak saya sukai saat ini, itu adalah masalah yang ditujukan secara khusus untukku. Pertanyaannya, apakah saya akan terus-terusan mengeluh dan mempertanyakan, atau saya mau melakukan sesuatu. Saya kemudian menyadari, dalam memandang setiap masalah, default cara berpikir saya yang konseptual dan analitis membuat saya selalu mempertanyakan dan mengharapkan kondisi terbaik, ketika sejatinya yang perlu saya lakukan adalah mengambil peran untuk memperbaiki kondisi itu. Dari situ, saya belajar untuk jangan (hanya) berharap. Tapi mulai mengerjakan yang terbaik yang saya bisa.

Dulu, ketika masih aktif di dunia futsal, saya sering kalah. Berada di lingkungan yang berisi para atlit futsal tanah air dan menjadi bagian dari tim yang menjadi kiblat futsal sulawesi selatan pada saat itu membuat saya membangun harapan yang sangat tinggi untuk selalu juara. Tetapi yang terjadi adalah saya lebih sering kalah daripada juara. Semakin tinggi saya berharap, semakin sering saya kalah dan kecewa. Terus menerus saya kalah dan saya tetap bertanding. Lantaran sudah sering kalah, saya akhirnya sampai pada suatu titik di mana saya tidak peduli lagi. Apalagi sudah menjadi ASN, tentu futsal tidak akan menjadi prioritas utamaku lagi. Mau menang atau kalah, saya tidak peduli. Yang saya lakukan adalah, saya hanya menikmati pertandingan, bermain lepas sesuai karakter bermain saya, dan berusaha semampu saya saja. Uniknya, saat saya sudah tidak peduli itu, saya malah lebih sering juara. Paradoks memang, tapi begitulah kenyataan yang terjadi.

Saya pikir itulah yang juga berlaku di kehidupan sehari-hari. Semakin kita berekspektasi terlalu tinggi, semakin jauh kita dari tujuan. Malah, kita bisa kecewa berat dan justru meninggalkan masalah-masalah yang sejatinya ditujukan untuk kita itu. Kerjakan saja yang terbaik, toh ketika kita ditakdirkan untuk unggul, kita sudah punya modal untuk bekerja lebih keras, lebih cerdas, dan lebih ikhlas. Dunia ini bukan tentang validasi, bukan tentang apresiasi, tapi tentang kontribusi. Kondisi yang kita anggap tidak ideal hari ini, setidaknya selalu memberi ruang untuk berkontribusi. Pertanyaannya, kita hanya akan menebalkan garis? Atau membelokkan ujungnya?

Terakhir, saya mau mengatakan bahwa saya masih menyimpan ketakutan yang mungkin tidak akan pernah ingin kuselesaikan. Ketakutan yang sengaja kubiarkan bersemayam di kepalaku. Ketakutan ‘jika saya bercermin hari ini, saya mendapati sosok yang dulunya saya perangi’.  

May our next move be the game changer”.

SHARE

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *