The Hornet’s Nest: Diskresi dan Paradoks Kekuasaan

“Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely.” – Lord Acton

Apa yang dimaksud kekuasaan? Siapa saja yang memilikinya? Bagaimana mereka menjalankan kekuasaan yang mereka miliki tersebut? Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Upaya untuk mencari penjelasan teoritik dan empirik terhadap pertanyaan tersebut, walaupun sudah berlangsung sejak lama, belum juga mencapai hasil yang memuaskan semua pihak. Dalam setiap hubungan antarmanusia maupun antarkelompok, selalu tersimpul pengertian-pengertian kekuasaan dan wewenang; kekuasaan diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Kekuasaan itu juga mencakup kemampuan untuk memerintah dan juga untuk memberikan keputusan-keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi tindakan-tindakan pihak lainnya.[1] Jadi, kekuasaan sejatinya adalah tools untuk mengendalikan sesuatu. Pengendalian membutuhkan kekuasaan agar mendapatkan ketaatan atau penyesuaian dari pihak yang dikendalikan.

Bagaimana kekuasaan erat dengan perilaku korup

Dapat dikatakan bahwa kekuasaan hari ini tidak berjalan karena ia tak mampu melaksanakan apa yang dikatakan, merealisasikan apa yang dijanjikan, atau mencapai apa yang direncanakan. Kekuasaan secara legal-formal ada, tetapi tak berfungsi karena ia hadir tanpa “kuasa”. Kekuasaan tanpa kuasa tentu sebuah ironi yang kini dialami negara ini, yaitu ketika kekuasaan tak mampu menunjukkan dayanya dalam memecahkan aneka persoalan. Yang ada hanya ketidakberdayaan dan ketidakmampuan menghadapi tekanan sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Ironi kekuasaan ini akibat kentalnya pertarungan kepentingan di dalam tubuh pemerintah itu sendiri dan terabaikannya kepentingan bangsa yang lebih besar.

Apa yang dikatakan Lord Acton mungkin berlaku secara universal. Fakta senantiasa menunjukkan bagaimana kekuasaan bekerja dalam ranah penumpukan harta kekayaan. Banyak elemen rezim di ranah lokal hingga pusat yang ditenggelamkan dengan uang. Tidak sedikit misalnya akademisi, yang semula di kampus sangat giat menggelorakan kampanye moral berpolitik, namun begitu dipercaya menduduki jabatan strategis yang berelasi dengan uang banyak, sang penjaga moral ini, terjerumus menjadi koruptor.

Realitas itu terbaca akibat tidak lepas dari kuatnya daya cengkeram kultur korupsi yang kalau boleh disebut, mengalami “pemerataan” ke semua lini strategis bangsa. Sehingga begitu seseorang menjadi segmentasi strukturalnya, tuntutan beradaptasi secara anomalistik lebih hegemonik dibanding tuntutan beradaptasi secara yuridis dan moralistik.[2] Sehingga tidaklah salah jika ada candaan menjurus sarkas yang menyatakan bahwa “Indonesia sekarang ini tidak mempunyai produk asli yang mencerminkan kebudayaan bangsa, kecuali hanya korupsi.” Apa yang kita punya hanyalah budaya korupsi yang terus menerus mengalami dinamika dan reinkarnasi, sehingga model korupsinya terus mengalami pembaruan.

Mengenal strategi the hornet’s nest

Ada satu strategi yang cukup familiar di dunia sibernetika bernama “The Hornet’s Nest” atau Strategi “Sarang Lebah”. Strategi ini mulanya digunakan oleh Badan Intelijen suatu negara untuk membawa semua ekstrimis-ekstrimis utama dunia untuk bergerak ke satu tempat atau tujuan. Strategi ini sebagian besar digunakan untuk mengguncang stabilitas negara yang dianggap musuhnya. Pada satu waktu, manusia-manusia bergaris keras itu bagai singa yang hanya ditarik ekornya saja, yang tadinya tertidur, dapat segera mengaum dan bergerak.[3]

The Hornet’s Nest adalah sebuah fenomena di mana kekuasaan, dalam arti tertentu, digunakan untuk memegang kendali penuh atas kelompok-kelompok tertentu demi mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Strategi ini berangkat dari asumsi bahwa “dark side” itu tidak bisa dihilangkan, tapi bisa dikontrol. Lebih baik membuat suasana ‘chaos‘ yang terukur, daripada membereskan chaos yang tidak diketahui asal usul dan soluisnya.

Dulu, di zaman orde baru, kita mengenal operasi pembasmian preman yang kerap disebut “Petrus” atau Penembakan Misterius. Ribuan orang yang dituduh preman mati tanpa proses peradilan.[4] Menariknya, dalam praktiknya, selalu ada kelompok preman yang disisakan. Kenapa disisakan? Karena nantinya, orang-orang yang tidak terdata akan merapat ke kelompok yang tersisa tadi. Inilah yang disebut sebagai The Hornet’s Nest. Sebuah upaya untuk “memelihara dark side” dengan tujuan untuk dikontrol secara penuh. Mengontrol “Sarang Lebah” tentu tidak mudah, tapi dapat dipastikan ada “madu” yang dihasilkan. Strategi inilah yang banyak diadopsi ke berbagai bidang kehidupan bernegara, bahkan oleh penegak hukum dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian.

Diskresi dalam menjalankan kekuasaan

Masih berkaca pada kasus Petrus, pada satu titik, hubungan yang dibangun antara pemegang kekuasaan dengan para preman pun bergerak lebih jauh. Para preman diberdayakan pada saat musim kampanye pemilu tiba. Mereka dimanfaatkan untuk menggalang massa dan mengamankan jalannya kampanye. Inilah gambaran bagaimana kekuasaan dijalankan. Dalam kekuasaan menjalankan jabatan, terdapat sudut yang menggoda, yaitu kekuasaan diskresi (discretionary power). Suatu jenis kekuasaan untuk menggunakan kewenangan berdasarkan kreatifitas pejabat itu. Kekuasaan itu diberikan oleh undang-undang dengan maksud agar jabatan yang disandang dapat dijalankan sebagaimana mestinya.[5]

Donald Cressey merumuskan dengan sangat baik bahwa setiap tindakan korupsi pasti memiliki dorongan dan skema yang dikenal dengan istilah Fraud Triangle: tekanan, peluang, dan rasionalisasi. The Hornet’s Nest merangkul semuanya: ada tekanan karena bermain di wilayah “dark”, ada peluang karena adanya diskresi, dan ada rasionalisasi karena, awalnya, merupakan strategi dengan tujuan yang baik. The Hornet’s Nest, dengan pengendalian berlebih, menjelma menjadi suatu sistem kleptokrasi, atau dengan bahasa yang lebih menggigit, sebuah perampokan oleh penyelenggara birokrasi.

Paradoks kekuasaan

Menjalankan suatu kekuasaan memang selalu mengandung suatu hal yang paradoks (bertentangan). Di satu sisi, kekuasaan dibatasi oleh hukum. Di sisi lain, kekuasaan dilepas dan diserahkan kepada otoritas individu pejabat. Jika di dalam menjalankan jabatan kewenangan dipersempit atau diperketat, dapat dipastikan birokrasi tidak berjalan karena seorang pejabat akan sulit mengambil keputusan dengan sempitnya pilihan bertindak. Sebaliknya, jika diskresi dilepas atau dibuat longgar, ada potensi untuk terjadi tindakan yang melebihi wewenang.

Dalam kondisi inilah jabatan rawan diselewengkan, karena bersamaan dengan menjalankan kebijakan untuk publik, dengan mudah diselipkan niat untuk menarik keuntungan pribadi atau kelompok. Menariknya, agar terhindar dari jeratan hukum, teknik korupsi dipercanggih dengan cara mendistribusikan jaringan pertanggungjawaban sehingga terbentuk semacam kleptokrasi, sebuah birokrasi yang korup, yang dibuat kompleks sampai pihak-pihak yang terlibat tidak mungkin lagi ditangkap satu per satu.

Strategi ini hanyalah satu dari sekian banyak inang yang telah terinfeksi virus korupsi. Strategi ini kebablasan dalam memegang kendali. Sebuah gambaran bahwa, lagi-lagi, kekuasaan itu bermata dua; kekuasaan adalah alat pengendalian. Namun jika kekuasaan memegang kendali penuh, Ia menjadi sumber perilaku korup. Sebuah paradoks bahwa perlawanan terhadap korupsi adalah tentang perlawanan terhadap kekuasaan itu sendiri.

Pemberantasan korupsi membutuhkan ketulusan dan kesungguhan dari semua pemegang kekuasaan, bukan hanya karena merekalah yang memiliki kendali untuk merombak sistem yang korup, tapi juga karena objek dari pemberantasan korupsi adalah kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan, karena sifatnya yang paradoks, harus mampu dibatasi dari upaya pengendalian berlebih. Kita harus mampu merumuskan konsep dikotomi kendali atas hal-hal yang ‘boleh’ dikendalikan dan hal-hal yang ‘tidak boleh’ dikendalikan.

Catatan khusus

Bagaimanapun, Fenomena ini menjadi satu catatan khusus yang semula hanyalah persoalan ‘seberapa jauh kita boleh memegang kendali’ menjadi ‘seberapa jauh kita bisa membongkar sistem korup yang sudah mengakar’. Kini, pemberantasan korupsi tidak cukup dengan upaya preventif dan represif saja. Individu-individu baru yang dilibatkan juga hanya akan melakukan adaptasi secara anomalistik sesuai sistem yang sudah berjalan. Pada akhirnya, permasalahan kolektif membutuhkan penyelesaian kolektif, bukan kehebatan individu. Sekedar mengutuk kegelapan memang menjengkelkan, tetapi menyalakan lilin tidak ada gunanya bila kita tidak pernah menyentuh persoalan kenapa ruangan senantiasa gelap gulita.

Membongkar “sarang lebah” tentu tidak mudah, tetapi hanya dengan begitu kita benar-benar bisa memisahkan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Hingga pada akhirnya, kita bisa memperlakukan yang benar dengan benar dan menindak yang salah dengan cara yang benar. Negara ini memang sedang sakit, menahun dan kronik. Sayangnya tidak pernah diobati dengan benar, sehingga penyakitnya terlanjur menyebar ke mana-mana. Bahkan mungkin sudah ada bagian-bagian yang membusuk. Hal seperti ini jelas tidak bisa dipertahankan, harus diamputasi, kalau mau sembuh.


[1] Syarif Moeis. Struktur Sosial: Kekuasaan, Wewenang, dan Kepemimpinan. (Bandung: Bahan Ajar Pendidikan Sejarah, 2008)

[2] Siti Marwiyah. Dampak Revolusi Gaya Korupsi terhadap Konstruksi Negara Hukum Indonesia. (Lex Publica: Vol. II No. 2, Mei 2016)

[3] Arrahman News, “Apa itu Operation Hornet’s Nest”, diakses dari https://arrahmahnews.com/2015/04/24/apa-itu-operation-honets-nest/, pada tanggal 02 Desember 2020.

[4] Bonnie Triyana, “Petrus: Kisah Gelap Orba”, diakses dari https://historia.id/politik/articles/petrus-kisah-gelap-orba-PyXNv, pada tanggal 03 Desember 2020.

[5] Benny Irawan, “Diskresi sebagai Tindak Pidana Korupsi: Kajian Kriminologi dan Hukum terhadap Fenomena Pejabat Otoritas”, MIMBAR: Vol. XXVII, No. 2 (Desember 2011).

Naskah ini sudah diikutkan dalam lomba menulis esai dalam rangka Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah DJBC Sulawesi Bagian Selatan dan mendapatkan Juara II.
SHARE

1 thought on “The Hornet’s Nest: Diskresi dan Paradoks Kekuasaan”

  1. Lebih dikenal dengan strategi sarang lebah. Memang banyak digunakan penegak hukum untuk memegang kendali.
    Connecting the dotsnya keren 👌

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *