Kasus dugaan korupsi tata niaga di PT Timah Tbk (TINS) sedang ramai diperbincangkan dan terus mengisi headline media nasional. Selain karena menyeret suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis, nilai kerugian negara dari kasus ini terbilang begitu besar yang disebut-sebut mencapai angka Rp271 triliun. Kasus korupsi dengan nilai fantastis itu sontak membuat netizen berandai-andai, bisa buat beli apa saja uang sebanyak itu.
“Kalau untuk 1 lagu aja BTS harus bayar Rp20 Miliar, maka kita bisa paksa BTS nyanyi 13550 lagu nonstop sampai mules.”
“Ngambil uang 271 triliun, sehari habisin 1 M aja uangnya gak habis 742 tahun.”
“Kalau tiap orang bayar pajak Rp10 juta, butuh 27 juta warga negara untuk ngumpulin uang segitu.”
Dari berbagai respon yang ada, dapat kita lihat bahwa ada miskonsepsi atau kesalahpahaman masyarakat dalam memandang kerugian negara, seolah-olah korupsi selalu identik dengan mengambil uang negara.
Memahami keuangan negara
Apa yang menjadi masalah utama dari kasus korupsi: uang negara yang hilang karena dirampok maling? Atau maling yang telah merampok uang negara? Jika uang negara hilang karena kelalaian pejabat administrasi negara, apakah pejabat tersebut secara langsung dikategorikan maling? Pertanyaan semacam ini masih terus relevan dalam sistem hukum di Indonesia seiring terus bergulirnya perkara tindak pidana korupsi.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama kita perlu memahami definisi keuangan negara. Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang, yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Lebih spesifik dalam penjelasan umum UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, termasuk segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban negara.
Dari definisi tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa keuangan negara bukan hanya bicara tentang uang negara. Lebih dari itu, keuangan negara setidaknya bicara tentang dua hal. Pertama, kekayaan negara. Kekayaan di sini bisa dalam domain privat, dalam arti semua barang yang dibeli atas beban APBN/APBD. Atau kekayaan negara dalam domain publik, dalam arti seluruh kekayaan yang dikuasai negara atau kekayaan negara potensial, termasuk di sini adalah sumber daya alam dan hayati secara menyeluruh.
Kedua, hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Hak dan kewajiban di sini bisa sangat luas tergantung pada proses bisnis yang ada. Sebagai contoh, apabila pelaku usaha menjalankan usahanya dan menghasilkan keuntungan, pada saat itu timbul hak negara berupa penerimaan perpajakan. Maka hak tersebut termasuk dalam keuangan negara. Dalam contoh lain, ketika negara bertransaksi dengan pihak ketiga, muncul kewajiban negara untuk membayar tagihan. Maka kewajiban tersebut juga termasuk dalam keuangan negara.
Kerugian negara tidak sama dengan mengambil uang negara
Kalau begitu, apa itu kerugian negara? UU Tipikor telah menegaskan bahwa kerugian keuangan negara adalah berkurangnya kekayaan negara yang disebabkan suatu tindakan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukan, kelalaian seseorang, dan/atau disebabkan oleh keadaan di luar kemampuan manusia (force majure).
Nah, karena keuangan negara tadi bicara tentang kekayaan negara dan hak/kewajiban negara, maka kerugian keuangan negara di sini dapat berbentuk pengeluaran kekayaan negara (dapat berupa uang, barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan; Hak penerimaan negara yang lebih kecil dari yang seharusnya diterima; Timbulnya suatu kewajiban negara yang seharusya tidak ada; Hilangnya suatu hak negara yang seharusnya diterima menurut aturan yang berlaku; dan sebagainya, dan sebagainya.
Seperti yang sudah dijelaskan, tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara tidak melulu soal mengambil uang negara secara literal, melainkan lebih luas tentang berkurangnya hak negara atau bertambahnya kewajiban negara dari yang seharusnya.
Analogi kerugian negara dari kasus tabrak babi di Papua
Untuk mempermudah memahami konsep kerugian negara, mari kita analogikan dengan kasus yang cukup unik. Di Papua, babi merupakan hewan bernilai tinggi. Babi bukan sekadar binatang peliharaan. Masyarakat Papua menganggap babi sebagai tabungan, alat pembayaran maskawin, menu utama dalam tradisi bakar batu, hingga membantu membajak lahan kebun. Berbagai persoalan adat juga dapat selesai dengan babi.
Kendati bernilai tinggi, masyarakat Papua tidak mengurung babi di dalam kandang. Selama hari terang, babi bebas berkeliaran sampai ke jalanan, dan di sini lah masalahnya. Jika pengendara sampai menabrak babi warga, dia harus membayar ganti rugi.
Harga seekor babi dewasa di Papua sekitar Rp15 juta. Namun, perhitungan besaran ganti rugi umumnya jauh lebih besar dari itu, utamanya ketika yang tertabrak adalah babi betina. Cara menghitungnya, harga babi dewasa tadi dikalikan potensi jumlah anak-cucu dari babi tersebut yang biasanya dilihat dari jumlah puting susu babi betina yang tertabrak.
Jadi, kerugian di konteks ini tidak hanya melihat berapa harga babi yang mati tertabrak, melainkan segala hak dan potensi yang mungkin muncul dari babi tersebut jika tidak mati tertabrak. Yang menjadi pertanyaan kemudian, jika babi tersebut tidak mati tertabrak, apakah benar akan melahirkan jumlah anak-cucu yang sesuai dengan perhitungan dasar ganti rugi tadi? Jawabannya belum tentu. Hal serupa terjadi dalam penentuan jumlah kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi.
Problematika perhitungan kerugian negara
Pasal 1 angka 22 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa kerugian negara haruslah sudah nyata-nyata ada dan terjadi dan pasti jumlahnya. Namun, ada pandangan lain yang menyebutkan seharusnya hakim dalam menilai unsur kerugian negara itu tidak berpedoman pada UU Perbendaharaan Negara yang wilayah pengaturannya adalah hukum administrasi negara. Sehingga dipandang lebih pas untuk menggunakan UU Tipikor yang memang mengatur ranah hukum pidana.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Prof. Komariah Emong Sapardjaja, berpendapat bahwa UU Tipikor menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil. Unsur ‘dapat merugikan keuangan negara’ seharusnya diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara. Jadi, ada atau tidaknya kerugian negara secara riil menjadi tidak penting. Hal ini sekaligus sebagai bentuk perluasan makna kerugian keuangan negara yang sebelumnya dipandang belum progresif.
Terbaru, kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor telah dianulir oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 dengan pertimbangan telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Meskipun demikian, tetap saja beban pembuktian nilai kerugian negara, utamanya pada kasus lingkungan masih terus menjadi perdebatan dalam sistem hukum Indonesia.
Konteks kerugian negara Rp271 triliun
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah memberikan penjelasan bahwa perkiraan kerugian negara sebesar Rp271 triliun dari kasus dugaan korupsi PT Timah Tbk. (TINS) tahun 2015-2022 merupakan perhitungan dari kerugian kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Berdasarkan perhitungan ahli lingkungan, kerugian ekologis, ekonomi, dan pemulihan lingkungan dari korupsi tersebut mencapai Rp271 triliun. Perhitungan tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2014.
Dalam kasus ini, tersangka diduga menandatangani kontrak kerja sama dengan cara membentuk perusahaan-perusahaan boneka guna mengakomodasi pengumpulan bijih timah ilegal dari IUP PT Timah Tbk. Seluruh praktik tersebut dikendalikan oleh tersangka dengan mengambil keuntungan bagi diri sendiri dan kelompoknya.
Atas hal tersebut, nilai kerugian negara terdiri dari tiga jenis. Pertama, kerugian ekologis sebesar Rp183,7 triliun. Kedua, kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp74,4 triliun. Ketiga, kerugian potensi biaya pemulihan lingkungan mencapai Rp12,1 triliun.
Secara umum, dapat dilihat bahwa penghitungan kerugian negara dalam konteks di atas sebagian besar berasal dari kerugian ekologis, yaitu nilai kerugian yang merupakan pemberian nilai moneter yang muncul akibat kerusakan lingkungan hidup. Kemudian kerugian ekonomi yang merupakan nilai ekonomi kerugian lingkungan hidup yang harus dibayarkan kepada
pihak yang dirugikan oleh pihak yang melakukan pencemaran atau kerusakan lingkungan
hidup. Terakhir adalah nilai kerugian dari estimasi biaya pemulihan lingkungan atas kerusakan yang telah terjadi.
Sebagai penegasan, tidak ada uang negara secara literal yang terambil di sini.
Kesimpulan
Apapun alasannya, korupsi tidak dapat dibenarkan dan harus terus kita berantas. Namun, nilai kerugian negara tidaklah sama dengan jumlah uang negara yang terambil. Melakukan simplifikasi bahwa korupsi sama dengan mengambil uang negara adalah miskonsepsi yang perlu diluruskan.
Disclaimer: Tulisan ini banyak melakukan simplifikasi penjelasan, utamanya soal penggunaan definisi keuangan negara, kekayaan negara, dan kerugian negara. Selamat mendalami lebih jauh.
Pingback: The Hornet's Nest: Diskresi dan Paradoks Kekuasaan - Esai
Pingback: Public Relations dalam Ledakan Opini - Esai