Bargaining Power: Kenapa Integritas Saja Tidak Cukup

“Siapa pun yang melawan monster harus memastikan bahwa dalam usaha perlawanannya dia tak menjelma menjadi monster.” – Friedrich Nietzsche

Bagi orang-orang zaman pertengahan, zaman klasik, atau zaman batu, upaya perlawanan sebagaimana kutipan di atas mungkin tidak dapat dipahami. Bagi mereka, dunia bergerak sudah apa adanya. Gejolak terjadi hanya karena para raja sedang berperang atau dewa-dewa yang sedang kesal menuntut balas dendam dengan cara mengguncang dunia. Ide bahwa satu individu dapat mengubah dunia tidak pernah terbesit di pikiran mereka.

Tidak demikian bagi penduduk bumi hari ini. Manusia modern memandang dirinya bukan hanya sebagai penduduk dunia, melainkan juga sebagai perancangnya. Kita selalu percaya pada gagasan bahwa kita sedang memperbaiki dunia – melalui startup, proyek amal, ataupun pengabdian pada pemerintahan yang sah. Pemahaman bahwa seorang individu dapat mengubah dunia adalah salah satu ide terbesar dan ilusi termegah yang dapat ditunggangi untuk memperbaiki banyak hal – termasuk persoalan korupsi.

Korupsi – sebagaimana White Collar Crime lainnya – merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan struktural. Daya cengkeram kultur korupsi sudah mengalami pemerataan ke hampir semua lini strategis bangsa. Dengan kompleksitas tersebut, sekarang, kita hanya bisa pasrah menyalahkan “sistem” atas segala kebobrokan yang terjadi.

Dalam serangkaian studi provokatif, sebuah tim yang dipimpin psikolog politik, John Jost, menyelidiki cara orang menanggapi kondisi default yang tak mereka kehendaki. Hasilnya adalah orang akan tergerak untuk merasionalisasi keadaan status quo sebagai kondisi yang sah – meskipun hal tersebut bertentangan dengan idealisme mereka. Sebuah ironi bahwa korupsi dan keadilan yang tumpul ini bukan hanya merugikan negara secara ekonomi – bukan cuma uang saja yang hilang. Jauh lebih fundamental dari itu, negara juga kehilangan sumber daya yang paling esensial: idealisme dan optimisme anak-anak muda dan orang-orang waras. Kerugian ini yang sama sekali tidak dapat dipulihkan dengan uang ganti rugi, denda, dan semacamnya.

Fenomena ini menjadi siklus lingkaran setan yang tak berujung. Korupsi merusak sumber daya manusia dan sumber daya manusia yang rusak akan melahirkan bibit-bibit koruptor baru. Sehingga tidak salah kalau kita menyebut bahwa yang terjadi sekarang adalah penduduk Indonesia terdiri dari mereka yang sudah ditangkap KPK dan mereka yang kebetulan belum ditangkap KPK.

Ungkapkan hal ini di ruang publik, maka hampir semua orang menawarkan integritas sebagai solusinya. Apakah integritas itu penting? Tentu saja. Kita butuh integritas sebagai pondasi dalam bekerja dan memperbaiki banyak hal. Akan tetapi, kita cenderung menilai integritas terlalu tinggi, seakan-akan persoalan korupsi dapat diselesaikan hanya dengan penanaman nilai ini saja. Faktanya, tidak sesederhana itu. Kita sering menemukan pegawai yang merawat integritasnya, namun ketika dihadapkan pada sebuah tantangan, ia hanya menarik diri dan tidak menawarkan solusi apapun.

Lagipula, secara naluriah, setiap orang akan melakukan hal yang baik, sampai ia dihadapkan pada sebuah pilihan. Mengapa demikian? karena selalu ada harga yang harus dibayar dari setiap pilihan yang kita ambil. Kita secara default akan menerapkan nilai-nilai integritas, tapi bagaimana jika integritas tersebut harus dibayar mahal – dengan kesendirian, jabatan, atau bahkan nyawa? Sebagai analogi, dalam suatu eksperimen di Eropa, saat seseorang menyuarakan keberatannya pada rasisme, ia dicap munafik oleh mereka yang tak bisa menyangkalnya. Begitulah yang berlaku di kehidupan sehari-hari. Saat kita menaikkan standar moral – semangat anti korupsi – kemungkinan terbesarnya adalah kita akan berjalan sendirian, dipinggirkan, bahkan ditendang. Pertanyaannya, apakah integritas saja cukup untuk membayar cost tersebut?

Dalam contoh yang lebih konkret, bayangkan bahwa anda diikutkan dalam sebuah perjalanan dinas fiktif. Pada saat pencairan dana, atas nama integritas, anda menolak bertandatangan. Kemungkinan terbesarnya, tim atau bos anda – yang menganggap praktik seperti itu sudah biasa – akan menekan atau menendang anda dari tim. Sekali lagi, apakah integritas saja cukup untuk membayar cost tersebut?

Di titik inilah bargaining power bekerja. Singkatnya, bargaining power atau daya tawar adalah ukuran kapasitas satu pihak untuk memegang kendali dan mempengaruhi pihak lain. Ini adalah poin penting dalam konflik atau negosiasi karena pihak-pihak dengan daya tawar yang lebih tinggi dapat memanfaatkan keadaan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Bargaining power ini dapat ditingkatkan dengan ketersediaan alternatif, kontribusi, dan kapabilitas individu. Tiga variabel ini yang akan saya breakdown satu per satu.

Di pasar saham, jika ingin melakukan investasi yang berisiko, kita sebaiknya melindungi diri dengan bermain aman di investasi lain. Semangat anti korupsi juga bergerak dalam skema yang sama. Kita tidak mungkin bisa memegang teguh idealisme, kecuali kita sudah punya alternatif lain yang membuat kita merasa aman melakukan segala hal yang kita anggap benar. Keberanian melawan arus selalu sepaket dengan risiko yang tidak dapat diprediksi – kita dapat ditendang kapan saja. Selalu memiliki alternatif – atau setidaknya memenuhi kebutuhan dasar secara finansial – memberi kita rasa aman dan menghilangkan risiko dari pengambilan risiko melawan arus semacam ini.

Kedua, kontribusi adalah pondasi. Jika kita tidak membuat diri kita dibutuhkan, maka kita semakin rawan disingkirkan. Berhenti bicara anti korupsi jika peluang kita untuk dibuang lebih besar dari peluang kita untuk dipertahankan. Semangat anti korupsi harus dimulai dengan hubungan ketergantungan. Atasan kita membutuhkan jasa kita, dia lemah atau tidak bisa berfungsi tanpa kita, kita melibatkan diri dalam pekerjaan dengan sangat mendalam sehingga menyingkirkan kita mengakibatkan dirinya menghadapi kesulitan besar atau setidaknya berarti kehilangan waktu yang berharga untuk mengarahkan orang lain yang menggantikan kita. Ide-ide perbaikan harus selalu bertolak dari titik ini.

Terakhir, kompleksitas persoalan korupsi juga membutuhkan penyelesaian yang kompleks – dan tentunya kapabilitas ekstra. Tentang seni memilih waktu yang tepat, tentang mental model dalam menghadapi berbagai situasi, tentang menjaga tangan tetap bersih, tentang kemampuan mengenali hati dan pikiran orang lain, tentang menjaga reputasi, dan tentunya tentang satu landasan penting pengendalian: kemampuan untuk menguasai emosi. Lebih dari itu, penekanan pada kapabilitas juga memberi pesan akan penghargaan. Cara ini memberi pesan bahwa seandainya semua orang tau dan lebih mengerti, mereka tidak akan bertindak tak pantas. Cara ini adalah penanda bagi harga diri penerima pesan, indikasi keyakinan bahwa ia mampu memahami, berkembang, dan memperbaiki diri.

Honesto virum bonum nihil deterred, “tidak ada yang menakutkan orang baik yang melaksanakan tugasnya dengan benar.”

Naskah ini sudah diikutkan dalam lomba menulis esai dalam rangka Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2021 yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Bea Cukai Jawa Timur I dan mendapatkan Juara I. 
SHARE

1 thought on “Bargaining Power: Kenapa Integritas Saja Tidak Cukup”

  1. Kereeen! Semua tentang pengaruh pada akhirnya. Dan pengaruh membutuhkan lebih banyak intuisi dibandingkan intelektualitas. -Dale Carnegie

    Way to go, Kak Aji! Keep up the good work 😀

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *