Mary Wollstonecraft, melalui bukunya ‘A Vindication of the Rights of Men. A Vindication of the Rights of Woman‘, menyuguhkan kesadaran tentang gerakan feminisme. Karya ini merupakan sebuah kompilasi kontroversi yang terjadi pada masa Revolusi Prancis. Ia menentang segala bentuk kekuatan patriarki: seorang ayah terhadap anak, raja terhadap negara, atau bentuk tirani yang sedikit ia saksikan di Eton. Wollstonecraft (mungkin) adalah perempuan pertama yang membawa isu-isu perempuan pada tahun 1790-an di debat-debat umum tentang hak-hak masyarakat.
Mereka menyebutnya Feminisme
Istilah feminisme sebenarnya bukanlah hal yang baru lagi. Namun rasanya tetap berat untuk mengangkatnya sebagai judul. Alasannya sederhana, terlalu sulit mendefinisikan apa itu feminisme. Sebagaimana isme-isme yang lain, feminisme hanyalah sebuah cabang ilmu, ide, atau aliran pemikiran. Konsekuensinya, ia tidak kaku: bebas diinterpretasikan sesuai konteks dan sudut pandang masing-masing. Belum lagi kalau bicara cabang pengetahuannya: feminis liberal, feminis sosialis, feminisme radikal, eco-feminisme, feminisme postmodern, dan masih banyak lagi.
Terlepas dari banyaknya mazhab, pembahasan tentang feminisme tetap saja akan membawa kita ke satu titik pemahaman bahwa feminisme adalah suatu ide atau gagasan (dan ada gerakannya) yang mendorong perempuan untuk mendapatkan hak dan kesempatan sebagai seorang manusia sekaligus menjadi bagian dari masyarakat yang diperlakukan secara adil.
Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi, berdasarkan definisi tersebut, feminisme sejatinya bergulat dalam persoalan kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan.
Apakah saya feminis?
Ada satu hal menarik ketika mendengar argumentasi para feminis yang kurang lebih begini:
Jika melihat substansi dari gerakan feminisme, sejatinya anda juga feminis.
Bahkan, Nabi Muhammad mereka sebut feminis hanya karena menghormati pandangan Khadijah sebagai seorang manusia yang utuh, misalnya. Atau karena Nabi Muhammad memiliki sisi feminitas dalam melawan tirani: mulai dari kesabarannya, ketulusannya, dll. Ini tentu sebuah logical fallacy yang cukup lucu. Biar saya jabarkan sedikit kesalahannya dimana. Mari kita bermain logika dasar:
Premis 1 : Feminisme menghormati kemanusiaan
Premis 2 : Nabi Muhammad menghormati kemanusiaan
Kesimpulan : Nabi Muhammad Feminis.
Belum dapat salahnya dimana? Mari kita buat dengan contoh lain:
Premis 1 : Indonesia berada di Asia
Premis 2 : Saya sedang berada di Asia
Kesimpulan : Saya sedang berada di Indonesia.
See? Hanya karena saya berada di Asia, bukan berarti saya sedang berada di Indonesia. Begitupun argumen di atas, hanya karena Nabi Muhammad memiliki sisi feminitas, bukan berarti dia seorang feminis. Ini jelas lompatan logika yang konyol.
Anda berbeda?
Feminisme mengakui dan menghormati hak-hak individu. Bagi mereka, orang yang berbeda harus diperlakukan dengan cara berbeda, bagaimanapun kondisinya. Mereka secara gamblang menolak generalisasi atau simplifikasi. Tapi satu hal yang mungkin luput dari pertimbangan mereka adalah:
Essentially, all models are wrong, but some are useful. Models are a simplification of reality.
A model is simply a means of extracting information of interest from data. The truth is infinitely complex and a model is merely an approximation to the truth.
In the “hard” sciences, sometimes things like friction or gravitational effect of tiny bodies get ignored. In the “soft” or social sciences frequently your focus determines your picture. Just compare History and Psychology.
Still, or because, models help us understand, predict, and comprehend the universe and more or less all its various components.
Bahkan sains yang kita anggap sebagai kebenaran absolut juga melakukan simplifikasi. Hukum juga melalui proses generalisasi: pembuatan kategori dengan indikator-indikator tertentu. Hampir segala lini kehidupan itu melalui proses simplifikasi dan generalisasi.
Definisi laki-laki dan perempuan apa? Apa indikatornya? Apakah hanya berdasarkan kromosom XX atau XY saja? lalu mereka yang XXY atau XYY dikategorikan apa? realitas ini memang terlalu kompleks. Tapi apakah kita hanya sampai pada persoalan kebenaran saja? Atau kebermanfaatan?
Tuntutan untuk memperlakukan orang yang berbeda dengan cara yang berbeda dengan dalih “ini terbukti secara sains”, bagaimanapun, tidak dapat diterima begitu saja.
Katanya tidak ingin dikotak-kotakkan?
Entah apa yang harus dikatakan ketika mendengar para feminis ini mengatakan bahwa “perempuan tidak ingin dikotak-kotakkan”. Padahal, menyebut diri sebagai feminis saja (apalagi sampai ada pergerakan) adalah bentuk pengkotak-kotakkan diri. Anda membicarakan toleransi dan di saat yang sama melakukan tindak intoleran? Bagaimana bisa?
Is it still relevant?
Sejarah kita mencatatkan bahwa Negara Indonesia pernah dipimpin oleh seorang Perempuan. Ketua DPR kita (saat tulisan ini dibuat) adalah seorang perempuan. Kabinet Indonesia Maju diisi oleh 5 orang Menteri perempuan. Dalam lingkup yang lebih kecil, apalagi. Ini adalah bukti bahwa meritokrasi berjalan. Mereka yang memiliki kualifikasi, kompetensi, dan kinerja terbaiklah yang akan mengisi posisi tertentu.
Peradaban yang bagaimana?
Sejatinya, peradaban hanya dapat dibentuk oleh apa yang disebut sebagai mitos bersama. Bagaimanapun tidak rasionalnya, kita butuh mitos bersama demi sampai ke suatu peradaban yang diinginkan. Konstruksi sosial adalah sebuah mitos bersama.
“Perempuan harus begini dan begitu” memang hanyalah sebuah konstruksi sosial: ia tidak absolut dan bisa diubah. Namun, jika feminisme menolak konstruksi sosial yang sudah diamini oleh mayoritas orang, itupun masih hanya sebuah bantahan, tetapi belum melakukan rekonstruksi sama sekali.
Jika patriarki dianggap tidak adil (bagi kelompok tertentu), apakah berarti mereka menawarkan matriarki? Padahal, konsistensi logisnya adalah, ketidakadilan yang tercipta dari patriarki sama saja dengan ketidakadilan yang tercipta jika kita mengamini matriarki.
Atau seberapa jauh kita bisa menerapkan “on-going ethics“? Menjalani kehidupan bermasyarakat tanpa konstruksi sosial hanya akan membawa kita ke peradaban yang bagaimana? Jika tidak lebih baik, lebih baik tidak.
Setara tapi tidak sama?
Konternarasi yang paling sering kita dengar dari mereka yang menolak gerakan feminisme kurang lebih begini:
“Ah, Feminis itu cuma menyetarakan yang enak-enaknya saja.”
atau begini:
Apakah laki-laki bisa melakukan apa yang dilakukan perempuan? Tidak!
Apakah perempuan bisa melakukan apa yang dilakukan laki-laki? Bisa!
Saya sendiri juga mengamati demikian. Namun, kurang lebih begini pembelaan mereka:
Bukan ini yang diperjuangkan dalam gerakan feminisme. Kita sadar bahwa secara fisik, psikologi, naluri, dan fitrah antara laki-laki dan perempuan itu berbeda. Sehingga narasi “mau enaknya saja” itu kurang tepat. Bukan mau enaknya saja, tapi kesetaraan yang adil pada porsinya masing-masing. Setara pada kesempatan yang sama, equality of opportunity. Bukan equality of outcome.
Awalnya saya juga menerima saja argumen tersebut. “Oh, ternyata saya salah,” pikirku saat itu. Tapi, perlahan saya telaah kembali, argumen tersebut sebenarnya sudah melalui lompatan logika. Bagaimana bisa mereka ingin menyetarakan opportunity tapi mengakui ketidaksetaraan outcome.
Manusia adalah rangkaian proses, bukan hasil. Orang yang telah selesai dengan dirinya, sepantasnya kita jumpai di pemakaman saja. Artinya, tidak ada satu titik di kehidupan manusia yang dapat menjadi patokan ‘hasil’. Semua hanyalah proses.
Angkat galon, atau segala macam pekerjaan berat lainnya, misalnya. Harusnya para feminis melihat itu sebagai proses, bukan hasil. Tidak ada lagi argumen bahwa “kita lihat siapa yang paling mampu”, karena sejatinya kemampuan itu adalah hasil dari proses. Laki-laki dewasa, misalnya, bisa karena mereka melalui proses itu. Sebagaimana tidak sedikit perempuan yang bisa melakukan itu hanya karena keadaan mengharuskannya untuk melakukan itu. Lagi-lagi, ada proses disitu.
Menyetarakan hak dan kesempatan seharusnya juga berarti bahwa menyamakan proses. Angkat galon? Jangan lihat siapa yang bisa sekarang dong, lihat itu sebagai proses. Manjat pohon? itu proses. Semua adalah proses. Lalu pada akhirnya, setara harus sama.
Singularity? Hehe You know, diversity matters.
What is the endgame?
Bagaimanapun, pernyataan tentang kesetaraan, di ladang politik yang ketat, dibuat hanya oleh mereka yang merasa dirinya, dalam beberapa hal, inferior. Yang diekspresikan justru keresahan, kepedihan, dan geliat kesadaran inferioritas yang enggan diterima.
Pada akhirnya, gerakan ini hanyalah bentuk kemarahan ‘anak kecil’ atas inferioritasnya. Semua orang akan menuntut segala bentuk superioritas untuk disetarakan, atas nama keadilan. Kesetaraan dijadikan variabel tunggal, tanpa memperhatikan apa dampak yang akan dihasilkan.
“Pengetahuan anda setara dengan ketidaktahuan saya.”
“Kekuatan anda setara dengan ketidakkuatan saya.”
Segala hal hanya akan ditarik ke level terendahnya atas nama kesetaraan. “saya sehebat anda” adalah alat yang berguna untuk menghancurkan masyarakat demokratis.
Bayangkan, saya tidak setuju dengan gerakan feminisme. Lalu saya buat gerakan tandingan yang saya beri nama maskulinisme, misalnya. Kita tandingkan semuanya. Apa yang akan terjadi? kita hanya akan berkutat di sebuah zero-sum game yang tidak ada ujungnya. Yang ada hanya chaos.
Justice?
Berbicara soal ketidakadilan, saya jadi teringat buku Guns, Germs, and Steel karya Jared Diamond. Dalam buku yang memenangi pulitzer prize tersebut, Jared Diamond mengungkapkan bahwa dunia ini memang tidak adil. Bagaimana peradaban modern bisa terbentuk seperti ini? Mengapa masyarakat erasia barat lebih berkuasa dan inovatif sementara yang lain terseok-seok mengikuti? Kenapa orang kulit putih bisa membuat begitu banyak barang berharga dan orang kulit hitam tidak? Mengapa dunia ini berkembang dengan begitu timpang? Semua dijelaskan disana.
Dari sana kita bisa sedikit memahami bahwa mengarahkan segala ketimpangan (dalam konteks gender) menjadi dikotomi patriarki-feminisme saja bukanlah pemikiran yang bijak dan bahkan oversimplifikasi. Ada banyak hal yang hanya perlu dilihat sebagai arah sejarah pemikiran manusia saja, tidak melulu niat buruk dari kaum ini dan itu, untuk begini dan begitu.
Kita menerima feminisme sebagai pemahaman: kita menolak dominasi, eksploitasi, marginalisasi, ataupun violence. Tapi menurut hemat berpikir saya, tidak perlu ada pergerakan yang menjurus radikal. Toh juga tidak perlu menjadi feminis untuk menolak kekerasan seksual. Kenapa? dengan self-claim sebagai seorang feminis, ada banyak hal-hal negatif yang terpaksa kita terima sebagai konsistensi logis dari pikiran feminisme itu sendiri.
Terakhir, saya mau bilang bahwa hal yang paling penting dari sebuah kebebasan adalah menjadi dirimu yang seharusnya. Jangan pernah menghianati kenyataan-diri hanya untuk sebuah peran. Tidak perlu tergesa-gesa meniru budaya barat yang liberal, tapi juga tidak harus konservatif atau sempit. Jadilah sepantasnya. Jangan terlalu misosophis.
If my information changes, i alter my conclusions. How about you, ma’am?