Pernahkah anda mengamati fenomena dimana individu atau kelompok tertentu merasa berhak untuk menghakimi individu atau kelompok lain? Seorang pimpinan merasa berhak untuk membentak bawahannya? Seorang anak yang diejek merasa berhak untuk memukul temannya? Atau fenomena lain seperti lahirnya ketidakpercayaan institusional, di mana masyarakat kelas bawah terlihat sulit untuk percaya pada orang-orang berdasi? Sadar atau tidak, fenomena semacam itu terjadi di sekitar kita. Lantas, apa saja yang perlu kita pahami dari fenomena tersebut?
Ketika populasi manusia bertumbuh dengan rasio yang sangat besar, survival of the fittest adalah fenomena alam yang harus dipicu. Namun, ketika kompetisi seperti itu menjadi tidak terkendali, maka jalan pintas dan praktik moral akan diabaikan. Efeknya, etika ada hanya sebagai subjek yang dianggap tidak penting dan bahkan dilawan. Akhirnya, yang terjadi adalah kekacauan. Ruang dan kekosongan yang dihasilkan dari kekacauan itulah yang disebut sebagai kesenjangan moral. Sebuah istilah umum yang mengacu pada perbedaan moral antara dua individu, kelompok, atau generasi yang berbeda.
Indonesia darurat kesenjangan moral
Indonesia sepertinya sedang mengalami kesenjangan moral yang cukup lebar. Antara laki-laki dan perempuan, antara pejabat negara dengan rakyat, antara si kaya dan si miskin, antara generasi tua dan generasi muda. Di sini ada pertentangan antara apa yang kita sebut sebagai moralitas tuan dan moralitas budak.
Moralitas tuan melekat pada mereka yang lebih superior, di mana ia merasa berhak atas setiap pencapaian yang mereka miliki. Dalam dunia yang berkembang secara eksponensial, mereka meyakini bahwa kesenjangan wajar saja terjadi dan memang seharusnya seperti itu. Sementara sebaliknya, moralitas budak menentang semua itu. Mereka merasa bahwa segala ketidakadilan yang terjadi, itu disebabkan oleh kelompok superior. Kesenjangan adalah bentuk ketidakadilan dan karenanya wajib disetarakan, bagaimanapun caranya.
Kedua moralitas ini merupakan komponen mendasar dalam sistem operasi otak perasa kita. Keduanya menghasilkan dan melanggengkan perasaan-perasaan yang kuat. Keduanya merasa ‘berhak’: Moralitas tuan merasa berhak atas kesenjangan yang terjadi, sementara moralitas budak merasa berhak untuk menyetarakan kesenjangan. Dan inilah masalahnya.
Kesenjangan moral ini akan tercipta dan meluas jika seseorang “memukul” nilai-nilai anda atau anda merasa dunia secara keseluruhan telah menekan nilai-nilai anda. Dua kelompok yang merasa berhak tentu akan saling menabrakkan nilainya masing-masing. Padahal, kita paham bahwa dunia ini tidak bisa dilihat sebatas hitam-putih saja. Selalu ada wilayah abu-abu di antara keduanya. Beberapa hal jika dipertentangkan juga tidak akan mengubah apa-apa, justru hanya melahirkan kesenjangan moral di antara kita.
“Sembari meminum kopi di apartemen lantai 21 yang terletak di tengah Jakarta, dia mengemukakan pendapatnya mengenai banjir di Jakarta dan bagaimana solusi terbaik untuk masalah tersebut. Di tengah pendapatnya, iPhone 12 Pro-nya ternyata perlu di-charge.”
“Everybody knows daerah situ sering banjir kok bisa sih tetap tinggal disana? do they know about climate change? Ujarnya yang telah pindah ke Macbook Pro-nya sembari duduk agak bersandar di kursi Herman Miller Aeron.”
Kalimat sarkas di atas saya kutip dari akun twitter @catuaries. Kalimat yang semakin memperjelas adanya kesenjangan moral. Berbicara dan berpendapat sejatinya bukanlah peristiwa moral (amoral). Tetapi, ketika kesenjangan moral sudah tercipta, menyampaikan pendapat juga harus dibarengi dengan tanggung jawab moral. Kredibilitas kita dipertanyakan bukan ketika kita tidak kompeten di bidang itu, melainkan karena kita “salah” secara moral. Orang tidak lagi menuntut pendapat yang benar, mereka hanya menuntut agar kesenjangan moral disetarakan.
Penyebab kesenjangan moral
Ada satu bias yang melekat pada otak kita yang dikenal dengan istilah intentional stance, di mana orang akan berasumsi bahwa selalu ada niat dalam setiap hal yang terjadi. Bias ini pula yang membawa kita pada pandangan bahwa selalu ada orang hebat di belakang kejadian besar atau selalu ada orang jahat di belakang kesalahan, bahkan ketika semua hal itu terjadi secara kebetulan.
Sebagai contoh, saya baru saja membaca artikel yang diterbitkan oleh news.detik.com berjudul Para Penunggang UU ITE. Artikel tersebut diawali dengan sebuah data bahwa 70 persen pelaporan UU ITE ke Polisi dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan. Data tersebut mungkin saja benar, namun tuduhan bahwa UU ITE ditunggangi oleh kekuasaan tentu merupakan hal yang terpisah dari data itu sendiri. Kita mungkin bersepakat bahwa ada pasal karet yang sangat meresahkan dalam UU ITE, dan justru itu kita harus paham bahwa di situlah pokok masalahnya.
Apakah kemudian ada kelompok yang memanfaatkan pasal karet tersebut? Bisa jadi. Tapi itu bukanlah sebuah pembenaran untuk menciptakan sentimen negatif, apalagi sampai menyimpulkan bahwa kesalahan tersebut adalah hal yang disengaja sejak awal oleh kelompok-kelompok superior (moralitas budak).
Pengaruh bias kognitif
Bias kognitif, bagaimanapun, berpengaruh besar terhadap melebarnya kesenjangan moral di masyarakat. Self-serving bias, misalnya, yang menggambarkan kecenderungan tiap individu, terutama ketika tidak diatur secara emosional, untuk berasumsi bahwa apa yang “terasa benar, itu benar.” Padahal, hanya karena anda merasa dia berbohong, bukan berarti dia benar-benar berbohong. Hanya karena anda merasa dilecehkan secara verbal, belum tentu berarti orang tersebut sedang melecehkan. Kita bukan center dari alam semesta. Objektifitas dari suatu hal tidak ditentukan berdasarkan apa yang kita rasakan.
Di samping itu, kita juga harus bergulat dengan isu literasi digital. Echo chamber membuat kita terus-menerus terpapar informasi yang hanya sesuai dengan pandangan kita. Terlebih, upaya untuk menyuguhkan konternarasi ataupun alternatif narasi hanya akan melahirkan backfire effect, di mana orang yang menerima informasi cenderung tidak menerima pandangan yang benar walaupun itulah fakta yang sebenarnya. Dengan kata lain, orang akan menolak informasi yang benar karena tidak sejalan dengan pemikirannya. Akhirnya, kita akan terus-menerus menciptakan dan memperlebar kesenjangan moral.
Utopia kesetaraan
Kesetaraan, baik dalam konteks moral maupun hal-hal konkret, adalah sebuah utopia. Sebuah kondisi ideal yang dalam definisi tertentu kita harapkan terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, upaya untuk sampai ke utopia tersebut seharusnya melalui adu argumen yang sehat, bukan hanya mempertentangkan dua moralitas yang ada. Utopia harus diperdebatkan dalam ranah pengetahuan, bukan perasaan.
Saya tidak akan mencegah anda untuk menyampaikan gagasan apapun, tetapi cobalah untuk sedikit menelaah kembali apakah gagasan tersebut hanyalah sebuah tuntutan untuk menyetarakan kesenjangan moral yang ada, ataukah sebuah kebenaran yang sesungguhnya? Ketika anda sudah tidak bisa membedakan antara kesenjangan moral dan kesalahan, perbedaan antara perasaan dan pengetahuan, maka sepertinya kita benar-benar sedang berhadapan dengan masalah besar yang tidak dapat diselesaikan oleh siapapun. Saya harap tidak.
Pirates are evil? Marines are righteous? These terms have always changed throughout history. Kids who have never seen peace and kids who have never seen war have different values. Those who stand at the top determine what’s wrong and what’s right. Justice will prevail, you say? But of course it will! Whoever wins this war becomes justice! – One Piece
Pingback: Resensi Buku Originals Karya Adam Grant - POSTACITA