Hanya dalam bidang keuangan, seseorang tanpa gelar sarjana, pelatihan, latar belakang, pengalaman formal, dan koneksi bisa mengalahkan seseorang dengan pendidikan, pelatihan, dan koneksi terbaik. Begitu kata Morgan Housel dalam bukunya, The Psychology of Money, untuk mendeskripsikan bagaimana kematangan emosi atau psikologis berpengaruh lebih banyak dibanding pengetahuan dan intelektualitas seseorang dalam mengelola uang.
Melalui buku yang telah menjadi buku sejuta umat alias bestseller tersebut, Morgan Housel ingin menyampaikan bahwa pada dasarnya perilaku seseorang terhadap uang yang dimiliki sangat memengaruhi kondisi keuangan, dibanding pengetahuan tentang keuangan yang dimiliki oleh orang tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan finansial tak memberi jaminan untuk mampu mengelola keuangan selama perilakunya gaya hidupnya sangat boros.
Lewat 19 cerita pendek, Morgan Housel dengan brilian mampu membangkitkan rasa penasaran pembaca saat menyelami ide yang ditawarkan. Setiap cerita pendek yang ada di dalam buku ini selalu berkaitan dengan uang dan manusia. Selain itu, penulis membuat cerita pendek dengan menggunakan sudut pandang perilaku manusia, sehingga setelah membaca buku ini, pembaca akan menemukan sudut pandang baru dalam memandang dan menyikapi uang.
Berikut beberapa ide menarik tentang uang dari buku The Psychology of Money :
Mengelola uang adalah tentang perilaku
Seperti yang telah disebutkan di awal artikel ini, mengelola uang dengan baik tidak ada kaitannya dengan kecerdasan dan lebih berhubungan dengan perilaku. Lebih dari itu, perilaku ini sulit diajarkan, bahkan kepada orang-orang yang sangat cerdas.
Seorang jenius yang kehilangan kendali atas emosinya bisa mengalami bencana keuangan. Sebaliknya, orang biasa tanpa pendidikan finansial bisa kaya jika mereka punya sejumlah keahlian terkait perilaku yang tak berhubungan dengan ukuran kecerdasan formal.
Tidak ada orang yang gila tentang mengelola uang
Setiap orang dibesarkan dengan menganut berbagai nilai, dari berbagai lingkungan, berbagai kondisi ekonomi, berbagai nasib, dan kemudian mendapat berbagai pelajaran. Semua orang punya pengalaman unik mengenai cara kerja dunia dan keputusan finansial selalu berangkat dari pengalaman unik tersebut. Keputusan finansial lahir dari tempat-tempat di mana latar belakang pribadi, pandangan tentang dunia, ego, dan insentif aneh bercampur menjadi narasi yang ampuh.
Deviden terbesar uang adalah kemerdekaan
Bentuk tertinggi kekayaan adalah kemampuan bangun setiap pagi dan berkata “Saya bisa melakukan apapun yang saya inginkan hari ini.” Nilai intrinsik terbesar uang adalah kemampuannya memberi kita kendali atas waktu kita. Untuk mendapatkan kemerdekaan dan otonomi sedikit demi sedikit dari aset yang tidak dihabiskan, sehingga memberi kita kendali lebih besar atas apa yang kita bisa lakukan dan kapan kita bisa melakukannya.
Menjadi kaya adalah satu hal, mempertahankannya adalah hal yang lain
Kapitalisme itu keras karena mendapat uang dan menyimpan uang adalah dua keahlian yang berbeda. Hari esok tidak akan sama dengan hari ini, sehingga kita tidak bisa berasumsi bahwa keberhasilan kemarin akan menyebabkan nasib baik besok. Investasi terbaik bukan hanya tentang membuat keputusan bagus, melainkan juga secara konsisten tidak membuat kesalahan besar.
Kesimpulan
Dari buku The Psychology of Money, kita bisa memahami bahwa uang adalah pedang bermata dua: ia bisa membuat kesengsaraan dan kesejahteraan. Kedua pilihan itu, sangat bergantung terhadap perilaku dan gaya hidup kita. Di sisi lain, penulis berhasil menghadirkan sudut pandang dan wawasan tentang keuangan menjadi lebih luas dan mendalam, yang membuat pembaca sadar bahwa mengelola keuangan adalah keterampilan yang sangat penting dan perlu dipahami.
Artikel ini hanyalah pemantik. Jangan berhenti di sini, baca bukunya dan temukan ide dan inspirasi menarik lainnya tentang uang.
Deviden uang adalah kemerdekaan dalam waktu dan pilihan 👍👍
Pingback: Edward Bernays: Bagaimana Ekonomi Digerakkan oleh Perasaan - POSTACITA
Pingback: Mempertanyakan Gerakan Feminisme - Esai
Pingback: Milenial di Hadapan Absurditas - Esai